Minggu, 22 April 2018

REFLEKSI KEBANGSAAN MEI 2018 : ISU-ISU KRUSIAL PILPRES 2019

Dengan hormat, 

Refleksi Kebangsaan - Institut Komunitas Universal
akan menyelenggarakan sebuah diskusi dengan tema:  


ISU-ISU KRUSIAL PILPRES 2019


Bersama narasumber: 
Dr. HENDRASMO, MA
Direktur Eksekutif Indo Survey & Barometer

WIBAWANTO NUGROHO
PhD Candidate at Institute of Arab and Islamic
University of Exter, UK

Pemandu Diskusi :
AYU KARTIKA IL, MM
Harian KOMPAS



Pada hari Selasa, 15 Mei 2018, pukul 17.00 - 20.00 WIB, 
bertempat di Sanggar Prathivi Building - Jalan Pasar Baru Selatan 23 Jakarta Pusat

Peminat dapat mendaftarkan diri melalui WA/SMS ke nomor : 0857-1052-6464

Sumbangan sukarela.

Salam dan hormat kami, 
Institut Komunitas Universal


Kamis, 19 April 2018

"Anak Haram" Radikalisme di Media Sosial


Materi ini disampaikan oleh  Mohamad Guntur Romli, sebagai narasumber tunggal pada Refleksi Kebangsaan yang diselenggarakan oleh Komunitas Universal pada Selasa, 17 April 2018, bertempat di Sanggar Prathivi Building. 


"Anak Haram" Radikalisme di Media Sosial

Radikalisme adalah gerakan perubahan yang bertujuan mengubah, membongkar, meruntuhkan segala hal dari akar, fondasi dan sumbernya.

Radikalisme dari radikal dalam bahasa Latin "radix" yang berarti akar. Radikalisme sering terkait ekstrimisme, dari ekstrim, paling ujung (tharf, ekstrimisme dalam bahasa Arab disebut at-tatharrufiyah), juga sering dikaitkan dengan "garis keras" (al-'unf), atau fundamentalisme, fundamen/dasar, al-ushuliyah.

Mengapa radikalisme yang asalnya istilah yang "netral" tiba-tiba dikaitkan dengan ekstrimisme, kekerasan dan fundamentalisme?

Karena ide radikalisme sama dengan ide fundamentalis, perubahan dari akar, dasar, sumber, dikatakan dengan ekstrimisme karena perubahan itu diinginkan dari paling ujung, juga dengan kekerasan karena perubahan yang radikal tidak pernah lepas dari kekerasan, kalau sudah ada bangunan atau pohon, maka perubahan radikal membongkar bangunan atau menumbangkan pohon sampai mencabut akar-akarnya!

Dalam konteks "bangunan" NKRI, maka politik radikal yang berbasis agama ingin mengganti dengan Khilafah, atau kebangsaan Indonesia diganti dengan model kebangsaan yang lain, serta dasar negara Pancasila diganti dengan dasar yang lain. Inilah politik radikal.

Radikalisme dalam keagamaan juga anti terhadap pembaruan, atas nama klem fundamental (misalnya Kitab Suci) dengan menolak tafsir-tafsir yang berikhtiar membumikan Kitab Suci dan Agama. Mereka menolak tafsir-tafsir itu dengan klem: kembali ke pemahaman harafiah Kitab Suci, yang menjadi ciri khas gerakan fundamentalisme keagamaan. Radikalisme bisa "sekuler" juga bisa berkedok agama. Yang kini meraih simpati dan banyak masyarakat tertipu karena radikalisme berkedok agama.

Radikalisme agama pastilah terkait politik, baik sebagai alat (seperti radikalisme Wahabi yang dijadikan alat Dinasti Saudi) atau radikalisme agama yang sekaligus partai politik, seperti wujudnya yang paling ekstrim ISIS, atau yang kontra demokrasi seperti Hizbut Tahrir yang ingin mendirikan Negara Khilafah atau yang menyusup ke demokrasi membuat partai politik tapi tujuannya ingin mendirikan Negara Islam dengan membajak demokrasi. Dalam 10 tahun belakangan, kelompok-kelompok radikal dengan gencar memanfaatkan media sosial sebagai pembentuk opini dan propaganda radikalisme.

ISIS adalah kelompok bersenjata yang "sukses" mendirikan Negara dengan memanfaatkan media sosial sebagai alat penyebar propaganda dan merekrut anggota dari seluruh dunia. Hizbut Tahrir mengunakan media sosial untuk menyebarkan propaganda Khilafah setelah sebelumnya menggunakan buletin foto copyan dan stensilan.

Radikalisme agama kini bermitra dengan parpol-parpol pembenci Pemerintah (bukan oposisi, karena oposisi harus dalam demokrasi dan bertujuan baik). Radikalisme agama yang menghalalkan segala cara, fitnah, hoax, ujaran kebencian dan SARA tampak membesar di era Jokowi karena tidak pernah diakomodasi. Hal ini berbeda dari kebijakan SBY yang mengakomodasi "suara-suara radikal" dengan menjadikan Suryadharma Ali sebagai menteri agama dan PKS dalam koalisi pemerintah. Sehingga lahir kebijakan dan peraturan yang bermasalah, SKB 2 Menteri (rumah ibadah dan Ahmadiyah) UU Pornografi dan UU ITE, dan tindakan-tindakan kekerasan berbasis agama.

Sikap Jokowi yang tidak mengakomodasi kelompok radikal satu sisi merepotkan, dengan gencarnya serangan, bully-an dan fitnah di media sosial (isu PKI, Cina, Kristen, dll) yang dilancarkan oleh cyber media kelompok-kelompok radikal seperti SARACEN dan MCA, namun kebijakan ini sungguhlah tepat sebagai konsekuensi menegakkan dan melindungi Konstitusi kita dari rongrongan radikalisme, apalagi dengan menerbitkan Perppu Ormas yang sudah disahkan menjadi UU Ormas yang bersikap tegas pada ormas dan kelompok yang bertentangan dengan dasar negara: Pancasila.

Kelompok pembenci Pemerintah memanfaatkan kelompok-kelompok radikal sebagai alat politik, menyerang Jokowi dan Pemerintah serta alat untuk mengeruk suara. Inilah "aliansi kotor" yang terjadi antara pihak-pihak pembenci Jokowi dan Pemerintah dengan kelompok-kelompok radikal.

"Hubungan gelap" antara pihak-pihak politik pembenci Jokowi dan kelompok-kelompok radikal melahirkan "anak-anak haram" yakni: fitnah, hoax dan ujaran kebencian.






Senin, 16 April 2018

Paus Fransiskus : Politik adalah Sebuah Pelayanan



Pope Francis:  
Politics is a Service
Meeting of Catholic Politicians Serving the Latin American Peoples
December 3, 2017

 “Politics is, first of all, a service,” Pope Francis said December 1, 2017. “It is not the slave of individual ambitions, of the arrogance of factions or interest groups.”

His comments came in a video message sent on the occasion of the Congress, “Meeting of Catholics that Assume Political Responsibility at the Service of the Latin American Peoples,” held December 1-3, 2017, at the headquarters of the Colombian Episcopal Conference, in Bogota. The event was organized by the Pontifical Commission for Latin America (CAL) and the Latin American Episcopal Council (CELAM).
The Holy Father warned that politics is not “a master that pretends to rule all the dimensions of people’s lives, including falling into forms of autocracy and totalitarianism.” He pointed out that he wasn’t talking about the past, but today’s world…perhaps “of some country of Latin America.”
He went on to say that the service Jesus expected of the Apostles is comparable to what is expected of politicians: “It’s a service of sacrifice and dedication, to such a point that at times politicians can be considered as ‘martyrs’ of causes for the common good of their nations.”

Here is a ZENIT translation of the video-message that the Holy Father Francis sent to the participants.

* * *
The Holy Father’s Video-Message
Good morning! First of all, I want to greet and thank the political leaders that accepted the invitation to take part in an event that I myself encouraged from its genesis: “The Meeting of Catholic Laymen that Assume Political Responsibilities at the Service of the Peoples of Latin America.” I also greet the Lord Cardinals and Bishops that are accompanying you, with whom you will surely have a very profitable dialogue for all.


Since Pope Pius XII and up to now, successive Pontiffs have always referred to politics as a “high form of charity.” It could also be translated as an inestimable service of dedication for the achievement of the common good of society. Politics is, first of all, a service. It is not the slave of individual ambitions, of the arrogance of factions or <interest groups>. As service, it is not either a master that pretends to rule all the dimensions of people’s lives, including falling into forms of autocracy and totalitarianism. And when I speak of autocracy and totalitarianism I’m not talking about the last century, I’m speaking of today, in today’s world, and perhaps, also, of some country of Latin America. It could be affirmed that Jesus’ service – who came to serve and not to be served — and the service that the Lord exacts from His Apostles and disciples is analogically the type of service that is asked of politicians. It’s a service of sacrifice and dedication, to such a point that at times politicians can be considered as “martyrs” of causes for the common good of their nations.




The fundamental reference of this service, which requires constancy, commitment and intelligence, is the common good, without which the rights and the most noble aspirations of people, of families and of intermediary groups, in general, would not be able to be fully fulfilled, because the ordered and civil space in which to live and operate would be lacking. It is about conceiving the common good as an atmosphere for the growth of the person, of the family, of the intermediary groups — the common good. Vatican Council II defined the common good according to the patrimony of the Social Doctrine of the Church, as “the whole of those conditions of social life with which men, families, and associations can attain their perfection with great fullness and facility” (Gaudium et Spes, n. 74). Clearly, one must not oppose service and power — no one wants an impotent power! However, power must be ordered to service so that it does not degenerate. That is, any power that is not ordered to service degenerates. I’m referring, of course, to “good politics,” in its noblest sense, and not to the degeneration of what we call “politicking.”





“The best way to attain a genuinely human politics – once again the Council teaches — is to foment an interior sense of justice, of benevolence, and of service to the common good and to strengthen fundamental convictions regarding the true nature of the political community and, finally, the correct exercise and limits of public powers” (Ibid., n. 73). You must all have the certainty that the Catholic Church “praises and esteems the work of those who, at the service of man, dedicate themselves to the res publica and accept the burdens of this office” (Ibid., n. 75).

At the same time, I’m also certain that we all feel the need to rehabilitate the dignity of politics. Referring to Latin America, how can one not observe the popular discredit that all political entities are suffering; the crisis of the political parties; the absence of lofty political debates geared to national and Latin American projects and strategies, which go beyond sabotaged policies! Moreover, frequently open and respectful dialogue, which seeks possible convergence, is often substituted by those stormy mutual accusations and demagogic relapses. 



Lacking also is formation and replacement by new political generations. That’s why people look from afar and criticize politicians and see them as a corporation of professionals that have their own interests, or denounce them angrily, sometimes without the necessary distinctions, as tainted with corruption.

This has nothing to do with the necessary and positive participation of the peoples, passionate about their life and destiny, which the political scene of nations should encourage. What is clear is that they need political leaders that live passionately their service to peoples, that vibrate with the profound fibers of their ethos and culture, solidary with their sufferings and hopes; politicians that put the common good before their private interests, that don’t let themselves be intimidated by the great financial and media powers, that are competent and patient in face of complex problems, that are open to listening and to learning in a democratic dialogue, that combine the quest for justice with mercy and reconciliation.


 Let us not be content with the meagerness of politics: we need political leaders capable of mobilizing vast popular sectors in pursuit of great national and Latin American objectives. I know personally Latin American political leaders with a different political orientation, who come close to this ideal figure.


How much we need today “good and noble politics” and its protagonists in Latin America! Do we not have to address problems and challenges of great magnitude? First of all, we need protection of the gift of life in all its stages and manifestations. Latin America also needs industrial, technological, self-sustaining and sustainable growth together with policies that address the drama of poverty and that are geared to equity and inclusion, because there is no true development, which leaves multitudes helpless and continues to fuel scandalous social inequality.


An integral education cannot be neglected, which begins in the family and is developed in schooling for all and of quality. The family and social fabric must be strengthened. A culture of encounter – and not of permanent antagonisms – must strengthen the fundamental bonds of humanity and sociability and lay strong foundations for social friendship, which leaves behind the pincers of individualism and massification, polarization and manipulation. We must point ourselves to mature, participatory democracies without blemishes of corruption, or of ideological colonizations, or autocratic pretensions and cheap demagogies.

Let us look after our common home and its most vulnerable inhabitants, avoiding all sorts of suicidal indifference and unbridled exploitations. Let us raise very high again and very concretely the need for the economic, social, cultural and political integration of our brother nations, to build our Continent, which will be even greater when it incorporates “all races,” completing their miscegenation, and be a paradigm of respect for human rights, of peace and of justice.


We cannot resign ourselves to the deteriorated situation in which we frequently find ourselves today.
I would like to take one more step in this reflection. In his address in Aparecida for the opening of the 5th General Conference of the Latin American Episcopate, Pope Benedict XVI pointed out “the notable absence in the political realm […] of voices and initiatives of Catholic leaders of strong personality and abnegated vocation, which are coherent with their ethical and religious convictions.” And the Bishops of the whole Continent wished to incorporate this observation in the conclusions of Aparecida., speaking of “disciples and missionaries in public life” (n. 502). I
In truth, in a Continent with a great number of baptized in the Catholic Church, of Catholic cultural substratum, in which the Catholic tradition is still very actual in the peoples and in which great manifestations of popular piety abound, how is it possible that Catholics appear somewhat irrelevant in the political scene, even assimilated to a worldly logic? It’s true that there are testimonies of exemplary Catholics in the public scene, but one notes the absence of strong currents that open the way to the Gospel in the public life of the nations. And this doesn’t mean at all to engage in proselytism through politics. There are many who profess to be Catholics — and we are not allowed to judge their consciences but yes their acts –, which often manifest little coherence with the ethical and religious convictions proper of Catholic teaching. We don’t know what’s going on in their conscience, we cannot judge it, but we see their acts.  


There are others who are so absorbed in living their political commitments that their faith is relegated to a second plane, impoverishing themselves, without the capacity to be a guiding principle and to leave their footprint in all the dimensions of a person’s life, including his political practice. And there is no lack of those who feel they are not recognized, encouraged, accompanied and sustained in the custody and growth of their faith, on the part of Pastors and Christian communities. In the end, the Christian contribution to the political event appears only through the statements of the Episcopates, without perceiving the peculiar mission of the Catholic laity to order, manage and transform the society, according to the evangelical criteria and the patrimony of the Social Doctrine of the Church.

Hence, I wanted to choose, as the theme of the previous Plenary Assembly of the Pontifical Commission for Latin America, the theme: “The Indispensable Commitment of the Catholic Laity in the Public Scene of the Latin American Countries” (March 1-4, 2017).  And on March 13, I sent a letter to the President of that Commission, Cardinal Marc Ouellet, in which I warned once again about the risk of clericalism and posed the question: “What does it mean for us Pastors that the laity work in public life?” ‘It means to look for the way to be able to encourage, accompany and stimulate the attempts, efforts that are already made today to maintain hope and faith alive in a world of contradictions, especially for the poorest.


It means for us, Pastors, to commit ourselves in the midst of our people and, with our people, to sustain the faith and their hope, opening doors, working with them, dreaming with them, reflecting and especially praying with them.

We need to recognize the city — and therefore all areas where the life of our people unfolds — from a contemplative look, a look of faith that discovers the God that dwells in their homes, in their streets, in their Squares.”

And, on the contrary, “we have often fallen into the temptation of thinking that the so-called “committed layman” is one who works in the endeavours of the Church and/or in the things of the parish or of the diocese and we have reflected little on the way to accompany a baptized person in his public and daily life, and how he commits himself as a Christian in public life.
Without realizing it, we have generated a lay elite, believing that, only those that work in the things “of priests” are “committed laymen, and we have forgotten, neglected the believer that often burns his hope in the daily struggle to live his faith. These are the situations that clericalism can’t see, as it is very concerned with controlling areas more than with generating processes. Therefore, we must recognize that the layman, because of his own reality; because of his own identity; because he is immersed in the heart of social, public and political life; because he is in the midst of new cultural ways that are continually gestated needs new forms of organization and celebration of the faith.”
It’s necessary that Catholic laymen be not indifferent to the res publica, or withdraw inside the churches, or expect ecclesiastical directives and orders to fight for justice, for more human ways of life for all. “It’s never the Pastor who tells the layman what he must do or say; laymen know it better than we do . . . It’s not the Pastor who must determine what the faithful must say in the different ambits.


As Pastors, united to our people, it does us good to ask ourselves how we are stimulating and promoting charity and fraternity, the desire for the good, and for truth and justice. What are we doing so that corruption won’t nest in our hearts,” including in our hearts as Pastors.  And, at the same time, it does us good to listen very carefully to the experience, reflections, and anxieties that laymen can share with us, who live their faith in the different realms of social and political life.

Your sincere dialogue in this Meeting is very important. Speak freely. It must be a dialogue that is between Catholics, Prelates and politicians, in which communion between persons of the same faith is more determinant than the legitimate oppositions of political options. For some reason and for something we take part in the Eucharist, source, and summit of all communion. From your dialogue illuminating factors can be drawn, orienting factors for the Church’s mission at present. Thank you again and good work!
© Libreria Editrice Vatican
[Original text: Spanish]  [ZENIT’s translation by Virginia M. Forrester]
CTV Screenshot









Paus Fransiskus:
Politik adalah Sebuah Pelayanan
Pertemuan Para Pelaku Politik yang melayani rakyat Amerika Latin
3 Desember, 2017


“Politik, pertama-tama adalah sebuah pelayanan,” kata Paus Fransiskus pada tanggal 1 Desember, 2017. “Politik itu bukan budak dari ambisi-ambisi pribadi, dari oragansi kelompok atau dari kelompok pencari  keuntungan,”

Komentarnya itu muncul dalam sebuah pesan-pesan video yang dikirim pada kesempatan dalam Konggres, “Pertemuan Orang-orang Katolik yang memikul tanggung jawab politik demi Pelayanan bagi rakyat Amerika Latin,” yang diselenggarakan di markas  besar  Konferensi Uskup Kolombia di Bogota. Pertemuan ini diorganisir oleh Komisi Kepausan untuk Amerika Latin (CAL) dan Dewan Keuskupan Amerika Latin (CELAM)

Bapa Suci memperingatkan bahwa politik itu bukan “seorang tuan yang berlagak untuk menguasai semua dimensi kehidupan, sehingga menjadi berbentuk otokrasi dan  totalitarianisme. “Paus juga menegaskan bahwa dirinya tidak sedang berbicara mengenai masa lampau, melainkan mengenai dunia masa kini…mungkin tentang “beberapa Negara di Amerika Latin.

Lebih lanjut dia berkata bahwa pelayanan yang diharap oleh Jesus dari Para Rasul dapat dibandingkan dengan apa yang Dia harap dari  para pelaku politik:”Politik adalah pelayanan demi pengorbanan dan pengabdian, sedemikian  sampai pada titik bahwa pelaku politik itu terpandang sebagai “martir” demi  kejahteraan bersama bagi bangsa mereka.


Inilah terjemahan yang dibuat oleh Zenith dari pesan Bapa Suci Fransiskus yang disampaikan kepada para peserta .


***

Pesan video dari Bapa Suci

Selamat pagi! Pertama-tama saya mau menyampaikan salam dan berterima kasih kepada pemimpin-pemimpin politik yang telah menerima undangan untuk mengambil peran dalam sebuah peristiwa yang saya sendiri telah mendukungnya sejak awal.  “Pertemuan Awam Katolik yang memikul  tanggung jawab Politik dalam Pelayanan bagi rakyat Amerika Latin.” Saya juga menyampaikan salam kepada Yang Mulia bapak-bapak Kardinal dan Uskup-Uskup yang telah mendampingi Anda semua yang saya yakin mereka akan menjadi pendamping yang handal dalam berdialog yang sangat bermanfaat bagi  semua.


Sejak Paus Pius XII sampai sekarang, para Paus yang menggantikannya senantiasa menyatakan bahwa politik adalah sebuah “bentuk kasih yang luhur”.  Politik juga dapat diterjemahkan sebagai sebuah pelayanan yang sangat mulia dalam pengabdian demi terwujudnya kesejahteraan umum bagi masyarakat.  Pertama-tama politik itu merupakan sebuah pelayanan.  Politik itu  bukan   budak yang mengabdi pada  ambisi pribadi, budak yang melayani  arogansi golongan atau kelompok kepentingan tertentu.  Sebagai pelayanan, politik bukanlah tuan yang berlagak menguasai segala bidang kehidupan masyarakat, sampai berbentuk menjadi otokrasi dan totalitarisme.  Dan bilamana saya mengucapkan kata-kata otokrasi dan totalitarianisme, saya tidak sedang berbicara mengenai abad yang lalu.  Saya berbicara tentang jaman ini, dalam dunia masa kini dan mungkin juga tentang beberapa negeri di Amerika. Latin  Dapat ditegaskan bahwa pelayanan Yesus – yang datang untuk melayani dan bukan untuk dilayani – dan pelayanan yang Tuhan pastikan berasal  dari para Rasul dan para murid-Nya sama dengan bentuk pelayanan yang diminta dari para politisi . Itu adalah bentuk pelayanan untuk berkorban dan mengabdikan diri, sedemikian rupa sampai pada tahap  di mana para politisi dapat dianggap sebagai “martir” yang mengorbankan diri bagi bangsa mereka.
Rujukan utama pelayanan yang menuntut kegigihan, keterlibatan dan kecerdasan ini adalah terwujudnya kesejahteraan bersama, yang hal itu tidak ada,  hak-hak dan cita-cita paling luhur dari rakyat, dari keluarga-keluarga dan dari perhimpunan-perhimpunan, pada umumnya, tidak dapat sepenuhnya dipenuhi karena tiadanya ruang tertib dan sipil yang memungkinkan untuk hidup dan bekerja.  Masalahnya terletak pada pengertian mengenai kesejahteraan bersama  sebagai sebuah atmosfir yang memungkinkan   pribadi-pribadi, keluarga-keluarga dan  perhimpunan-perhimpunan   - betul-betul mengalami kesejahteraan bersama.  Konsili Vatikan II mendefinisikan kesejahteraan bersama  seturut dengan warisan Ajaran Sosial Gereja, sebagai “keseluruhan kondisi-kondisi kehidupan sosial, yang memungkinkan orang-orang, keluarga-keluarga dan perhimpunan-perhimpunan mencapai kesempurnaan mereka secara penuh dan lebih mudah” (GS 74)
Jelas bahwa, pelayanan dan kekuasaan tidak boleh dipertentangkan - tak seorang pun menginginkan kekuasaan yang mandul! Tapi bagaimanapun juga kekuasaan harus diarahkan demi pelayanan supaya tidak merosot.  Bagaimana pun juga setiap kekuasaan yang tidak diarahkan untuk pelayanan dengan sendirinya menjadi merosot. Tentu saja yang saya maksudkan adalah “politik yang baik” dalam pengertiannya yang mulia dan bukan dalam pengertian yang bobrok yaitu yang disebut dengan istilah “bermain politik” (politicking)


“Cara terbaik untuk sampai pada politik yang manusiawi – sekali lagi menurut ajaran Konsili – adalah menumbuhkan sikap  batin tentang keadilan, tentang kebajikan, tentang pelayanan untuk kesejahteraan umum  dan untuk meneguhkan keyakinan dasar tentang kodrat komunitas politik dan pada gilirannya sampai pada pelaksanaan yang tepat dan pembatasan kekuasaan publik” G.S no 73)  Kalian semua memiliki kepastian bahwa Gereja Katolik “memuji dan menghargai karya mereka yang, demi pelayanan bagi manusia, membaktikan dirinya untuk res publica dan bersedia menanggung tugas itu (no 75). 


Pada saat yang sama, saya juga yakin bahwa kita semua merasakan kebutuhan untuk merehabilitasi martabat politik itu sendiri.  Dengan menunjuk pada Amerika Latin, bagaimana mungkin bahwa orang tidak tahu bahwa rakyat sedang kehilangan kepercayaan kepada pemerintah, bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan politik sedang menanggung penderitaan ini; krisis partai-partai politik;  tidak ada debat yang tajam yang cocok dengan proyek-proyek dan strategi nasional dan Amerika Latin, yang melampaui kebijaksanaan yang telah disabot.  Lebih dari pada itu,  dialog yang terbuka dan saling menghormati, yang berusaha  mencari titik temu, sering diganti dengan hojat saling  tuduh yang sengit dan kambuhnya serangan yang menghasut. 


Yang juga kurang adalah pendidikan dan pembentukan generasi politisi yang baru.  Karena itu orang melihat saja dari jauh dan mengkritisi para pelaku politik dan memandangnya sebagai persekongkolan para ahli yang mengejar keuntungan untuk dirinya sendiri, atau mencela  dengan marah dan kerap kali tanpa rincian yang diperlukan menuduh    mereka tercemar oleh korupsi.

Hal ini tidak ada hubungannya dengan partisipasi secara positif yang memang diperlukan dari rakyat yang bersemangat tinggi untuk hidup dan memperjuangkan nasibnya yang sebetulnya harus disemangati oleh panggung politik nasional. Yang jelas, mereka membutuhkan pemimpin-pemimpin politik yang hidupnya diabdikan bagi rakyat, yang bergetar karena kekuatan mendalam yang muncul dari jiwa bangsa dan  budayanya, bersetiakawan dengan penderitaan dan harapan rakyat; para pelaku politik yang meletakkan kesejahteraan bersama di atas keuntungan pribadi, yang tidak membiarkan dirinya diintimidasi oleh kekuasaan besar yang berasal dari uang dan media; para pelaku politik yang kompeten dan tekun dalam menghadapi masalah-masalah yang rumit; yang terbuka untuk mendengarkan dan belajar dalam suasana dialog yang demokratis; yang merupakan gabungan dari pencaharian keadilan dengan belas kasih dan rekonsiliasi. 
Hendaknya kita tidak puas dengan kesuam-suaman politik; kita memerlukan pemimpin politik  yang mampu menggerakkan sektor kerakyatan yang luas  untuk  mencapai tujuan nasional  yang besar untuk dan tujuan Amerika Latin. Saya mengenal secara pribadi pemimpin-pemimpin politik Amerika Latin dengan orientasi politik yang berbeda, yang mendekati sosok ideal ini.



Betapa kita sekarang memerlukan politik yang baik dan mulia dan pendukungnya berada di Amerika Latin! Tidak haruskah kita menyinggung  masalah-masalah dan tantangan-tantangan yang besar?  Pertama-tama, kita memerlukan perlindungan atas anugerah kehidupan pada setiap tahap dan perwujudannya.  Amerika Latin juga memerlukan pertumbuhan industri, teknologi yang mandiri dan berkelanjutan, yang harus diiringi dengan kebijakan yang mengena pada drama kemiskinan dan yang diarahkan kepada kesetaraan dan pemerataan, karena tidak ada perkembangan yang benar bila masih menyisakan sejumlah besar orang yang rentan dan tak henti-hentinya menghasilkan ketimpangan sosial yang memalukan. 

Pendidikan yang utuh tidak dapat diabaikan, yang mulai dari keluarga dan dikembangkan dalam sekolahan yang diperuntukkan bagi semua dan pendidikan itu bermutu.  Keluarga dan tata masyarakat harus diperkuat.  Budaya perjumpaan – dan bukan pertikaian yang terus-menerus – harus meneguhkan ikatan dasar kemanusiaan dan kemasyarakatan serta meletakkan pondasi  yang kuat untuk adanya persahabatan sosial, yang meninggalkan jepit  individualism dan massafikasi, polarisasi dan manipulasi.  Kita harus mengarahkan diri menuju demokrasi partisipatif tanpa dinodai korupsi, atau penjajahan ideologis atau nafsu otokrasi dan hasutan yang murahan.

Marilah kita merawat rumah kita bersama dan penghuninya yang paling rawan, menghindari segala bentuk ketidak-pedulian yang mematikan diri kita sendiri dan penambangan yang tak terkendali.  Mari kita meningkatkan lagi dengan penuh semangat dan secara nyata kebutuhan akan keutuhan yang  bersifat ekonomis, sosial, budaya dan politis dari bangsa-bangsa sesaudara kita untuk membangun Benua kita yang akan menjadi semakin besar bila  menyatukan “segala suku”, menjadi satu bangsa  dan menjadi sebuah paradigma yang hormat pada hak-hak manusia, yang damai dan adil. 

Kita tidak boleh melarikan diri dari keadaan yang memburuk yang sering kita jumpai sekarang ini.

Saya ingin maju selangkah lagi dalam refleksi ini.  Dalam sambutan pembukaan  pada Pertemuan Umum ke 5 Konferensi Uskup-Uskup Amerika Latin di Aparecida, Paus Benediktus XVI menunjuk pada  adanya “ketidak -hadirnya secara  mencolok dari dunia politik […] suara-suara dan prakarsa  pemimpin-pemimpin Katolik dengan kepribadian yang kuat dan panggilan pengingkaran diri  yang sesuai dengan keyakinan agamanya.“  Dan para Uskup dari seluruh Benua berharap bahwa   pengamatan ini dicantumkan ke dalam kesimpulan dari Aparecida., mengenai “para rasul dan misionaris dalam ranah  publik” (no 502).

Pada kenyataannya, dalam sebuah Benua dengan jumlah besar orang yang dibabtis Katolik, dengan dasar budaya Katolik, dalam mana tradisi Katolik masih sangat hidup di kalangan rakyat dan ungkapan kesalehan sosial berlimpah-limpah, bagaimana mungkin orang-orang Katolik muncul sebagai sesuatu yang tidak relevan  dalam panggung politik, bahkan cara berpikirnya duniawi? Memang benar ada beberapa kesaksian dari tokoh-tokoh Katolik di ruang publik, tapi ada catatan  tentang tiadanya arus yang kuat yang membuka jalan untuk Injil dalam kehidupan bangsa-bangsa.  Dan ini sama sekali bukan berarti penyebaran agama melalui politik.  Banyak orang mengaku diri Katolik –, tentu kita tidak boleh mengadili suara hati mereka, tapi kita boleh   menilai tingkah laku mereka – tingkah laku mereka menunjukkan sedikit saja  keyakinan moral dan agama yang  khas  seturut ajaran  Katolik.   Kita tidak tahu apa yang terjadi di dalam suara hati mereka, kita tidak dapat mengadilinya, tapi kita dapat melihat tingkah laku mereka.

Ada lagi yang lain yang begitu terserap di dalam keterlibatan politik sehingga iman mereka dimerosotkan sampai pada tingkat ke dua.  Mereka memiskinkan dirinya, sehingga iman itu tidak dapat  menjadi kaidah penuntun dan  tidak meninggalkan jejak langkah dalam segala matra kehidupan seseorang, termasuk praktek politiknya.  Dan tidak kurang mereka yang merasa dirinya tidak terkenal, tidak disemangati, tidak didampingi dalam  pemeliharaan  dan pertumbuhan imannya oleh para Gembala dan Komunitas-komunitas Kristiani.  Pada akhirnya sumbangan orang orang Kristiani dalam peristiwa-peristiwa iman hanya nampak pada pernyataan-pernyataan para Uskup tanpa menyebut misi khusus yang harus dijalankan oleh kaum awam yaitu mengelola dan mengubah masyarakat sesuai  dengan norma  dan warisan Ajaran Sosial Gereja.

Dengan demikian saya ingin memilih tema sebelum Sidang Umum Komisi Kepausan untuk Amerika Latin “Keharusan Terlibatnya Awam Katolik dalam Kancah Publik di Negara-Negara Amerika Latin” (1-4 Maret 2017). Dan pada tanggal 13 Maret saya mengirim sepucuk surat kepada Kardinal Marc Ouellet, Ketua Komisi itu.  Dalam surat tersebut sekali lagi saya mengingatkannya tentang bahaya klerikalisme dan saya mengajukan pertanyaan; ”Apa artinya bagi kita para Pastor bahwa awam bekerja di ruang publik?”  Pertanyyan itu  dimaksudkan untuk mencari jalan bagi para Pastor untuk dapat menyemangati, mendampingi dan menggerakkan usaha-usaha yang telah mereka lakukan sampai sekarang ini, yaitu usaha-usaha memelihara harapan dan iman agar tetap hidup di dalam dunia yang penuh pertentangan, terutama bagi mereka yang paling miskin.

Itu berarti bagi kita para Pastor hendaknya melibatkan diri di tengah-tengah umat dan bersama umat mendukung iman dan harapan mereka, membuka pintu, bekerjasama dengan mereka, mimpi bersama mereka, berefleksi bersama mereka dan terutama berdoa dengan mereka. 

Kita perlu mengenal kota – demikian juga semua wilayah tempat hidup umat kita berkembang – dari cara pandang yang kontemplatif, cara pandang iman yang menemukan Tuhan  dalam rumah mereka, di jalan-jalan mereka dan Lapangan-lapangan mereka.

Dan, sebaliknya, “sering kita jatuh ke dalam godaan untuk berpendapat bahwa yang disebut dengan ‘awam yang terlibat’ adalah seorang yang bekerja dalam usaha-usaha Gereja dan atau dalam kegiatan paroki atau keuskupan dan kita hanya merefleksi sedikit tentang cara mendampingi babtisan dalam hidup pribadi maupun hidup publik dan bagaimana dia sebagai seorang Kristiani melibatkan diri dalam kehidupan publik. 
Tanpa sadar kita menghasilkan  awam yang ‘elite’ (pilihan) yang  percaya bahwa awam yang terlibat adalah hanya mereka yang bekerja pada dunia “imam”. Kita lupa dan mengabaikan kaum beriman yang sering menyala pengharapannya dalam perjuangan hariannya untuk menghayati imannya.  Itulah situasi yang tidak dilihat oleh  “klerikalisme” yang lebih memperhatikan  pemekaran  wilayah daripada proses generasi.  Maka kita perlu memahami bahwa mereka itu adalah kaum awam dari kenyataan mereka sendiri; karena jati diri mereka sendiri; karena terbenam di jantung hati kehidupan sosial, publik dan politik; karena mereka sedang berada di tengah-tengah jalan budaya baru yang   senantiasa memerlukan bentuk-bentuk organisasi dan perayaan iman yang baru.    

Seharusnya awam Katolik tidak acuh-tak-acuh pada “res publica”,  atau mengundurkan diri ke dalam gedung-gedung gereja, atau  mengharapkan petunjuk dan perintah gerejani untuk berjuang demi keadilan, demi didapatkannya cara-cara yang manusiawi untuk hidup bagi semua. “Bukan Pastor yang harus menentukan apa yang harus dikerjakan atau dikatakan oleh awam.  Awam tahu lebih baik dari pada Pastor.  Bukan Pastor yang harus menentukan apa yang umat harus katakan dalam  berbagai keadaan yang berbeda. 

Sebagai Pastor, dalam persatuan  dengan umat,  baiklah bertanya pada diri sendiri, bagaimana  kita mendorong dan memunculkan kasih dan persaudaraan, keinginan akan kebaikan, dan  keadilanApa yang harus kita lakukan sehingga korupsi tidak bersarang di dalam hati kita, termasuk hati kita sebagai Pastor.  Dan, pada saat yang sama, baik bagi kita secara seksama mendengarkan tuturan pengalaman, refleksi dan kegelisahan kaum awam yang  menghayati iman mereka dalam berbagai bidang kehidupan sosial dan politik yang berbeda-beda.
           
Dialog Anda yang jujur di   dalam Pertemuan ini sangatlah penting.  Silakan berbicara secara bebas.  Hendaknya ada dialog di antara orang-orang Katolik, pejabat Gereja dan para politisi. Dalam dialog itu  komunikasi  antar orang-orang seiman akan lebih menentukan dari pada perlawanan yang sah atas pilihan-pilihan politik.  Untuk berberapa  alasan-alasan  dan demi sesuatu  kita bersatu di dalam Ekaristi, sumber dan puncak dari semua persatuan.  Dari dialog Anda  dapat ditarik unsur-unsur yang mencerahkan  bagi perutusan Gereja masa kini.  Terima kasih sekali lagi dan selamat bekerja!

(Di Indonesiakan oleh I. Ismartono, SJ untuk bahan diskusi di Institut Komunitas Universal di Jakarta 22.02.2018)

Kamis, 12 April 2018

First Impressions of Gaudete et Exsultate - Perspectives Daily

It was a very busy weekend in Rome with many significant events that happened over the past few days. However, let’s begin with a quick review of the Pope’s message during Divine Mercy Sunday where he said, "Don't be afraid of shame, open hearts to God's mercy."

Also from Rome this morning, the Vatican released the much anticipated Apostolic Exhortation from Pope Francis: “Gaudete et Exsultate”, on the call to holiness in today’s world. Much of the document was written in the second person, speaking directly to the individual reading it. "With this exhortation”, the Pope wrote, “I would like to insist primarily on the call to holiness that the Lord addresses to each of us, the call that he also addresses, personally, to you."

Stating that he was not writing a theological treatise on holiness, Pope Francis focused primarily on how the call to holiness is a personal call, something God asks of each Christian and which requires a personal response given one's state in life, talents, and circumstances. “God calls all Christians to be saints -- not plastic statues of saints, but real people who make time for prayer and who show loving care for others in the simplest gestures. Do not be afraid of holiness. It will take away none of your energy, vitality or joy."

An apostolic exhortation is the second-highest form of papal teaching, after an Encyclical Letter. The Pope has published two other apostolic exhortations, Evangelii Gaudium" ("The Joy of the Gospel"), published in 2013 and "Amoris Laetitia," ("The Joy of Love"), released in 2016. The entire text of "Amoris Laetitia" is available on our website listed below.

Interestingly enough, this new Apostolic Exhortation expands upon themes that the Pope spoke about in November of 2014 at a General Audience where he spoke about sainthood. I share with you now a portion of this report from CNS

And finally tonight, I leave you with this. The Holy Father also released his monthly prayer intention video last week where he asks us to join him in prayer this April specifically for “Those who have Responsibility for Economic matters."

In his prayer intention for the month of April, Pope Francis said: “Let us raise our voices together, asking that economists may have the courage to reject an economy of exclusion and know how to open new paths”. Have a look.

And that is all that we have time for today. Join us again tomorrow, when I bring you more news and stories from the Perspective of a Catholic Lens.

Source : https://www.youtube.com/watch?v=r-x9V8wVKPo 



Selasa, 10 April 2018

GAUDETE ET EXSULTATE : PANGGILAN TERHADAP KEKUDUSAN DALAM DUNIA MASA KINI

SERUAN APOSTOLIK TERBARU DARI PAUS FRANSISKUS, 
GAUDETE ET EXSULTATE : PANGGILAN TERHADAP KEKUDUSAN DALAM DUNIA MASA KINI, DITERBITKAN.

Sebuah panduan bagi Kekristenan untuk Abad ke-21, Gaudete et Exsultate, diterbitkan. Seruan apostolik terbaru dari Paus Fransiskus diterbitkan pada tanggal 9 April 2018 bertepatan dengan Hari Raya Kabar Sukacita.

“Tuhan meminta segalanya dari kita, dan sebagai imbalannya memberi kita kehidupan sejati, kebahagiaan yang untuknya kita diciptakan”.

Dalam seruan apostoliknya yang ketiga, Gaudete et Exsultate, (setelah Evangelii Gaudium dan Amoris Laetitia), Paus Fransiskus merefleksikan panggilan terhadap kekudusan, dan bagaimana kita dapat menanggapi panggilan tersebut di dunia modern. “Tujuan saya yang tidak muluk-muluk” dalam seruan tersebut, Paus Fransiskus mengatakan, “adalah untuk mengemukakan kembali panggilan terhadap kekudusan dengan cara yang mudah dilaksanakan untuk zaman kita sendiri”.

Lima bab dari Gaudete et Exsultate mengikuti perkembangan yang masuk akal, dimulai dengan mempertimbangkan panggilan terhadap kekudusan seperti dalam dirinya sendiri. Bapa Suci kemudian membahas dua “musuh kekudusan yang hampir tak kentara", yaitu, gnostisisme masa kini dan pelagianisme masa kini.

Kekudusan dalam menjalani Sabda Bahagia

Gagasan pokok Gaudete et Exsultate yakni kekudusan berarti mengikuti Yesus. Dalam bab tiga ini, Paus Fransiskus menganggap setiap Sabda Bahagia sebagai perwujudan apa artinya menjadi kudus. Tetapi jika Sabda Bahagia menunjukkan kepada kita apa artinya kekudusan, Injil juga menunjukkan kepada kita syarat yang dengannya kita akan dihakimi: "Aku lapar dan kamu memberi Aku makanan ... Aku haus dan kamu memberi Aku minum ... Aku orang asing dan kamu menyambut Aku ... Aku telanjang dan kamu memberi Aku pakaian … Aku sakit dan kamu merawat Aku… Aku berada dalam penjara dan kamu mengunjungi Aku”.

Paus Fransiskus mencurahkan bab empat Gaudete et Exsultate pada “aspek-aspek tertentu dari panggilan menuju kekudusan” tersebut yang beliau rasakan “akan terbukti sangat berarti” di dunia saat ini : ketekunan, kesabaran dan kelemahlembutan; sukacita dan rasa humor; keberanian dan kegairahan; dimensi bersama dari kekudusan; doa yang terus menerus.

Pertempuran dan kearifan rohani

Akhirnya, seruan tersebut memuat saran-saran yang mudah dilaksanakan untuk menghayati panggilan terhadap kekudusan. “Kehidupan kristiani adalah perang yang terus-menerus”, kata Paus Fransiskus. “Kita membutuhkan kekuatan dan keberanian untuk menahan godaan iblis dan memberitakan Injil”. Dalam bab lima, beliau berbicara tentang perlunya “pertempuran” dan kewaspadaan, serta memanggil kita untuk menjalankan karunia kearifan, “yang seluruhnya lebih penting saat ini”, di dunia dengan begitu banyak gangguan yang membuat kita tidak mendengar suara Tuhan.

"Saya berharap", Paus Fransiskus mengakhiri, "agar halaman-halaman ini akan terbukti bermanfaat dengan memungkinkan seluruh Gereja untuk mengabdikan dirinya untuk memberdayakan keinginan terhadap kekudusan".
__

(💜ZBHI💜 - Senin , 9 April 2018)

Diskusi: Siapa Berkepentingan Memainkan Radikalisme Di Medsos?




UNDANGAN DISKUSI

SIAPA BERKEPENTINGAN 
MEMAINKAN RADIKALISME DI MEDSOS?

Pembicara:
H.M. GUNTUR ROMLI
(intelektual muda NU, penulis, aktivis dan politisi)

Moderator: BAYU WARDHANA

Selasa, 17 April 2018
Pukul 17.30 - 21.00 WIB

Bertempat di:
Sanggar Prathivi Building
Jalan Pasar Baru Selatan no. 23 Jakarta Pusat

Peminat dapat mendaftarkan diri melalui WA/SMS ke nomor 0857-1052-6464

Sumbangan sukarela

Salam,
Institut Komunitas Universal