Materi ini disampaikan oleh Mohamad
Guntur Romli, sebagai narasumber tunggal pada Refleksi Kebangsaan yang diselenggarakan oleh Komunitas Universal pada Selasa, 17 April 2018, bertempat di Sanggar Prathivi Building.
"Anak Haram" Radikalisme di Media Sosial
Radikalisme adalah gerakan
perubahan yang bertujuan mengubah, membongkar, meruntuhkan segala hal dari
akar, fondasi dan sumbernya.
Radikalisme dari radikal
dalam bahasa Latin "radix" yang berarti akar. Radikalisme sering
terkait ekstrimisme, dari ekstrim, paling ujung (tharf, ekstrimisme dalam
bahasa Arab disebut at-tatharrufiyah), juga sering dikaitkan dengan "garis
keras" (al-'unf), atau fundamentalisme, fundamen/dasar, al-ushuliyah.
Mengapa radikalisme yang
asalnya istilah yang "netral" tiba-tiba dikaitkan dengan ekstrimisme,
kekerasan dan fundamentalisme?
Karena ide radikalisme sama
dengan ide fundamentalis, perubahan dari akar, dasar, sumber, dikatakan dengan
ekstrimisme karena perubahan itu diinginkan dari paling ujung, juga dengan
kekerasan karena perubahan yang radikal tidak pernah lepas dari kekerasan,
kalau sudah ada bangunan atau pohon, maka perubahan radikal membongkar bangunan
atau menumbangkan pohon sampai mencabut akar-akarnya!
Dalam konteks
"bangunan" NKRI, maka politik radikal yang berbasis agama ingin
mengganti dengan Khilafah, atau kebangsaan Indonesia diganti dengan model
kebangsaan yang lain, serta dasar negara Pancasila diganti dengan dasar yang
lain. Inilah politik radikal.
Radikalisme dalam keagamaan
juga anti terhadap pembaruan, atas nama klem fundamental (misalnya Kitab Suci)
dengan menolak tafsir-tafsir yang berikhtiar membumikan Kitab Suci dan Agama.
Mereka menolak tafsir-tafsir itu dengan klem: kembali ke pemahaman harafiah
Kitab Suci, yang menjadi ciri khas gerakan fundamentalisme keagamaan. Radikalisme bisa
"sekuler" juga bisa berkedok agama. Yang kini meraih simpati dan
banyak masyarakat tertipu karena radikalisme berkedok agama.
Radikalisme agama pastilah
terkait politik, baik sebagai alat (seperti radikalisme Wahabi yang dijadikan
alat Dinasti Saudi) atau radikalisme agama yang sekaligus partai politik,
seperti wujudnya yang paling ekstrim ISIS, atau yang kontra demokrasi seperti
Hizbut Tahrir yang ingin mendirikan Negara Khilafah atau yang menyusup ke
demokrasi membuat partai politik tapi tujuannya ingin mendirikan Negara Islam
dengan membajak demokrasi. Dalam 10 tahun belakangan,
kelompok-kelompok radikal dengan gencar memanfaatkan media sosial sebagai
pembentuk opini dan propaganda radikalisme.
ISIS adalah kelompok
bersenjata yang "sukses" mendirikan Negara dengan memanfaatkan media
sosial sebagai alat penyebar propaganda dan merekrut anggota dari seluruh
dunia. Hizbut Tahrir mengunakan
media sosial untuk menyebarkan propaganda Khilafah setelah sebelumnya
menggunakan buletin foto copyan dan stensilan.
Radikalisme agama kini
bermitra dengan parpol-parpol pembenci Pemerintah (bukan oposisi, karena oposisi
harus dalam demokrasi dan bertujuan baik). Radikalisme agama yang menghalalkan
segala cara, fitnah, hoax, ujaran kebencian dan SARA tampak membesar di era
Jokowi karena tidak pernah diakomodasi. Hal ini berbeda dari kebijakan SBY yang
mengakomodasi "suara-suara radikal" dengan menjadikan Suryadharma Ali
sebagai menteri agama dan PKS dalam koalisi pemerintah. Sehingga lahir
kebijakan dan peraturan yang bermasalah, SKB 2 Menteri (rumah ibadah dan
Ahmadiyah) UU Pornografi dan UU ITE, dan tindakan-tindakan kekerasan berbasis agama.
Sikap Jokowi yang tidak
mengakomodasi kelompok radikal satu sisi merepotkan, dengan gencarnya serangan,
bully-an dan fitnah di media sosial (isu PKI, Cina, Kristen, dll) yang
dilancarkan oleh cyber media kelompok-kelompok radikal seperti SARACEN dan MCA,
namun kebijakan ini sungguhlah tepat sebagai konsekuensi menegakkan dan
melindungi Konstitusi kita dari rongrongan radikalisme, apalagi dengan
menerbitkan Perppu Ormas yang sudah disahkan menjadi UU Ormas yang bersikap
tegas pada ormas dan kelompok yang bertentangan dengan dasar negara: Pancasila.
Kelompok pembenci Pemerintah
memanfaatkan kelompok-kelompok radikal sebagai alat politik, menyerang Jokowi
dan Pemerintah serta alat untuk mengeruk suara. Inilah "aliansi
kotor" yang terjadi antara pihak-pihak pembenci Jokowi dan Pemerintah
dengan kelompok-kelompok radikal.
"Hubungan gelap"
antara pihak-pihak politik pembenci Jokowi dan kelompok-kelompok radikal
melahirkan "anak-anak haram" yakni: fitnah, hoax dan ujaran
kebencian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar