Kamis, 19 April 2018

"Anak Haram" Radikalisme di Media Sosial


Materi ini disampaikan oleh  Mohamad Guntur Romli, sebagai narasumber tunggal pada Refleksi Kebangsaan yang diselenggarakan oleh Komunitas Universal pada Selasa, 17 April 2018, bertempat di Sanggar Prathivi Building. 


"Anak Haram" Radikalisme di Media Sosial

Radikalisme adalah gerakan perubahan yang bertujuan mengubah, membongkar, meruntuhkan segala hal dari akar, fondasi dan sumbernya.

Radikalisme dari radikal dalam bahasa Latin "radix" yang berarti akar. Radikalisme sering terkait ekstrimisme, dari ekstrim, paling ujung (tharf, ekstrimisme dalam bahasa Arab disebut at-tatharrufiyah), juga sering dikaitkan dengan "garis keras" (al-'unf), atau fundamentalisme, fundamen/dasar, al-ushuliyah.

Mengapa radikalisme yang asalnya istilah yang "netral" tiba-tiba dikaitkan dengan ekstrimisme, kekerasan dan fundamentalisme?

Karena ide radikalisme sama dengan ide fundamentalis, perubahan dari akar, dasar, sumber, dikatakan dengan ekstrimisme karena perubahan itu diinginkan dari paling ujung, juga dengan kekerasan karena perubahan yang radikal tidak pernah lepas dari kekerasan, kalau sudah ada bangunan atau pohon, maka perubahan radikal membongkar bangunan atau menumbangkan pohon sampai mencabut akar-akarnya!

Dalam konteks "bangunan" NKRI, maka politik radikal yang berbasis agama ingin mengganti dengan Khilafah, atau kebangsaan Indonesia diganti dengan model kebangsaan yang lain, serta dasar negara Pancasila diganti dengan dasar yang lain. Inilah politik radikal.

Radikalisme dalam keagamaan juga anti terhadap pembaruan, atas nama klem fundamental (misalnya Kitab Suci) dengan menolak tafsir-tafsir yang berikhtiar membumikan Kitab Suci dan Agama. Mereka menolak tafsir-tafsir itu dengan klem: kembali ke pemahaman harafiah Kitab Suci, yang menjadi ciri khas gerakan fundamentalisme keagamaan. Radikalisme bisa "sekuler" juga bisa berkedok agama. Yang kini meraih simpati dan banyak masyarakat tertipu karena radikalisme berkedok agama.

Radikalisme agama pastilah terkait politik, baik sebagai alat (seperti radikalisme Wahabi yang dijadikan alat Dinasti Saudi) atau radikalisme agama yang sekaligus partai politik, seperti wujudnya yang paling ekstrim ISIS, atau yang kontra demokrasi seperti Hizbut Tahrir yang ingin mendirikan Negara Khilafah atau yang menyusup ke demokrasi membuat partai politik tapi tujuannya ingin mendirikan Negara Islam dengan membajak demokrasi. Dalam 10 tahun belakangan, kelompok-kelompok radikal dengan gencar memanfaatkan media sosial sebagai pembentuk opini dan propaganda radikalisme.

ISIS adalah kelompok bersenjata yang "sukses" mendirikan Negara dengan memanfaatkan media sosial sebagai alat penyebar propaganda dan merekrut anggota dari seluruh dunia. Hizbut Tahrir mengunakan media sosial untuk menyebarkan propaganda Khilafah setelah sebelumnya menggunakan buletin foto copyan dan stensilan.

Radikalisme agama kini bermitra dengan parpol-parpol pembenci Pemerintah (bukan oposisi, karena oposisi harus dalam demokrasi dan bertujuan baik). Radikalisme agama yang menghalalkan segala cara, fitnah, hoax, ujaran kebencian dan SARA tampak membesar di era Jokowi karena tidak pernah diakomodasi. Hal ini berbeda dari kebijakan SBY yang mengakomodasi "suara-suara radikal" dengan menjadikan Suryadharma Ali sebagai menteri agama dan PKS dalam koalisi pemerintah. Sehingga lahir kebijakan dan peraturan yang bermasalah, SKB 2 Menteri (rumah ibadah dan Ahmadiyah) UU Pornografi dan UU ITE, dan tindakan-tindakan kekerasan berbasis agama.

Sikap Jokowi yang tidak mengakomodasi kelompok radikal satu sisi merepotkan, dengan gencarnya serangan, bully-an dan fitnah di media sosial (isu PKI, Cina, Kristen, dll) yang dilancarkan oleh cyber media kelompok-kelompok radikal seperti SARACEN dan MCA, namun kebijakan ini sungguhlah tepat sebagai konsekuensi menegakkan dan melindungi Konstitusi kita dari rongrongan radikalisme, apalagi dengan menerbitkan Perppu Ormas yang sudah disahkan menjadi UU Ormas yang bersikap tegas pada ormas dan kelompok yang bertentangan dengan dasar negara: Pancasila.

Kelompok pembenci Pemerintah memanfaatkan kelompok-kelompok radikal sebagai alat politik, menyerang Jokowi dan Pemerintah serta alat untuk mengeruk suara. Inilah "aliansi kotor" yang terjadi antara pihak-pihak pembenci Jokowi dan Pemerintah dengan kelompok-kelompok radikal.

"Hubungan gelap" antara pihak-pihak politik pembenci Jokowi dan kelompok-kelompok radikal melahirkan "anak-anak haram" yakni: fitnah, hoax dan ujaran kebencian.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar