Pengantar:
Gaudete et Exsultate - Bersukacitalah dan Bergembiralah adalah Seruan Apostolik yang ketiga dari Paus Fransiskus yang diterbitkan pada tanggal 19 Maret 2018. Dua seruan yang mendahului adalah Evangelii Gaudium - Sukacita Injil (24 November 2013) dan Amoris Laetitia - Sukacita Kasih (19 Maret 2016). Seruan ketiga ini segera menyebar di antara umat, kecuali karena isinya yang mengena, kiranya juga karena bahasanya sederhana.
Catatan :
Teks-teks di bawah ini merupakan terjemahan dari Naskah "Apostolic Exhortation Gaudete et Exsultate of The Holy Father Francis on The Call to Holiness in Today's World" yang dimuat di :
Teks-teks di bawah ini merupakan terjemahan dari Naskah "Apostolic Exhortation Gaudete et Exsultate of The Holy Father Francis on The Call to Holiness in Today's World" yang dimuat di :
http://w2.vatican.va/content/francesco/en/apost_exhortations/documents/papa-francesco_esortazione-ap_20180319_gaudete-et-exsultate.html
AKTIVITAS YANG MENGUDUSKAN
25. Sama seperti kamu
tidak dapat memahami Kristus sebagai
yang terpisah dari kerajaan yang Dia bawa ketika Dia datang, demikian juga perutusan pribadimu
tidak dapat dipisahkan dari pembangunan
kerajaan itu: “Carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya” (Bdk.
Mat 6:33). Menyatukan dirimu
dengan Kristus dan kehendak-Nya akan
melibatkan komitmen untuk membangun
bersama-Nya kerajaan kasih,
keadilan, dan perdamaian semesta. Kristus sendiri ingin mengalami ini bersama
denganmu, dalam semua upaya dan pengorbanan yang
ditimbulkannya, tetapi juga dalam semua sukacita dan pengayaan yang dibawa-Nya. Kamu tidak dapat bertumbuh dalam kekudusan tanpa melibatkan
dirimu sendiri, jiwa dan raga, untuk memberikan yang terbaik demi usaha ini.
26. Tidaklah sehat untuk
mencintai keheningan sebagai pelarian dari interaksi
dengan orang lain, menginginkan kedamaian dan ketenangan untuk menghindari kegiatan, mencari doa
sementara pelayanan diremehkan. Segala sesuatu dapat diterima dan diintegrasikan ke dalam kehidupan kita
di dunia ini, dan menjadi bagian dari jalan kita menuju kekudusan. Kita
dipanggil untuk menjadi kontemplatif bahkan di tengah-tengah kegiatan
serta bertumbuh dalam kekudusan
dengan bertanggung jawab dan dengan murah hati melaksanakan perutusan yang tepat.
27. Mungkinkah Roh Kudus
mendesak kita untuk melakukan perutusan dan kemudian meminta kita untuk
meninggalkannya, atau tidak lagi sepenuhnya terlibat di dalamnya, demi menjaga kedamaian batin kita? Memang ada kalanya kita tergoda untuk menggeser keterlibatan atau komitmen pastoral
di dunia ke tempat kedua, seolah-olah ini adalah "gangguan" di
sepanjang jalan menuju pertumbuhan dalam kekudusan dan kedamaian batin. Kita dapat melupakan bahwa
“hidup tidak memiliki perutusani, tetapi adalah sebuah perutusan”. [27]
28. Tak perlu dikatakan, apa
pun yang dilakukan karena kecemasan, kesombongan atau kebutuhan untuk membuat orang lain
terkesan tidak akan mengarah pada kekudusan. Kita ditantang untuk menunjukkan keterlibatan
kita sedemikian rupa sehingga semua yang kita lakukan memiliki makna injili dan lebih menyamakan diri kita dengan
Yesus Kristus. Kita sering berbicara, misalnya, tentang spiritualitas katekis,
spiritualitas room-romo projo, spiritualitas kerja. Untuk alasan yang sama, di Evangelii Gaudium saya
menyimpulkan dengan berbicara mengenai spiritualitas misi, dalam Laudato Si ' mengenai spiritualitas ekologis, dan dalam Amoris
Laetitia mengenai spiritualitas
kehidupan keluarga.
29. Ini tidak berarti
mengabaikan kebutuhan akan saat-saat tenang, kesendirian dan keheningan di
hadapan Tuhan. Justru sebaliknya. Kehadiran gawai yang terus-menerus baru, kegirangan dalam perjalanan, dan barang-barang konsumsi tanpa
henti terkadang tidak menyisakan ruang bagi suara Tuhan untuk didengar. Kita
diliputi oleh kata-kata, oleh kesenangan yang dangkal dan dengan hiruk-pikuk
yang meningkat, diisi bukan oleh sukacita melainkan oleh ketidakpuasan dari
mereka yang hidupnya telah kehilangan makna. Bagaimana kita bisa gagal
menyadari perlunya menghentikan perlombaan tikus ini dan memulihkan ruang
pribadi yang diperlukan untuk melakukan dialog yang tulus dengan Tuhan?
Menemukan ruang itu mungkin terbukti menyakitkan tetapi selalu berbuah. Cepat
atau lambat, kita harus menghadapi diri kita yang sebenarnya dan membiarkan
Tuhan masuk. Hal ini mungkin tidak terjadi kecuali “kita melihat diri kita
menatap ke dalam jurang pencobaan yang menakutkan, atau memiliki sensasi yang
memusingkan berdiri di atas jurang keputusasaan, atau menemukan diri kita sepenuhnya
sendirian dan terlantar”. [28] Dalam situasi seperti itu, kita menemukan motivasi terdalam untuk sepenuhnya
menjalankan komitmen kita pada pekerjaan kita.
30. Kekalutan yang sama yang terdapat di
mana-mana di dunia saat ini juga membuat kita cenderung untuk memutlakkan
waktu luang kita, sehingga kita dapat
menyerahkan diri sepenuhnya kepada perangkat yang memberi kita hiburan atau
kesenangan singkat. [29] Sebagai hasilnya, kita mulai
membenci misi kita, komitmen kita
menjadi kendur dan semangat
pelayanan yang murah hati dan siap siaga mulai loyo. Ini berlawanan dengan pengalaman rohani kita. Dapatkah semangat
spiritual apa pun menjadi sehat ketika ia berada di samping kemalasan dalam evangelisasi atau dalam
melayani orang lain?
31. Kita membutuhkan roh kekudusan yang mampu mengisi baik kesendirian
kita maupun pelayanan kita, kehidupan
pribadi kita maupun upaya penginjilan
kita, sehingga setiap saat dapat menjadi ekspresi kasih yang rela berkorban di
mata Tuhan. Dengan demikian, setiap saat kehidupan kita dapat menjadi langkah
di sepanjang jalan menuju pertumbuhan dalam kekudusan.
(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar