Rabu, 16 Mei 2018

GAUDETE ET EXSULTATE 25-31

Pengantar: 



Gaudete et Exsultate - Bersukacitalah dan Bergembiralah adalah Seruan Apostolik yang ketiga dari Paus Fransiskus yang diterbitkan pada tanggal 19 Maret 2018. Dua seruan yang mendahului adalah Evangelii Gaudium - Sukacita Injil (24 November 2013) dan Amoris Laetitia - Sukacita Kasih (19 Maret 2016). Seruan ketiga ini segera menyebar di antara umat, kecuali karena isinya yang mengena, kiranya juga karena bahasanya sederhana. 




Catatan : 
Teks-teks di bawah ini merupakan terjemahan dari Naskah "Apostolic Exhortation Gaudete et Exsultate of The Holy Father Francis on The Call to Holiness in Today's World" yang dimuat di : 
http://w2.vatican.va/content/francesco/en/apost_exhortations/documents/papa-francesco_esortazione-ap_20180319_gaudete-et-exsultate.html


AKTIVITAS YANG MENGUDUSKAN

25. Sama seperti kamu tidak dapat memahami Kristus sebagai yang terpisah dari kerajaan yang Dia bawa ketika Dia datang, demikian juga perutusan  pribadimu  tidak dapat dipisahkan dari pembangunan kerajaan itu: “Carilah  dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya” (Bdk. Mat 6:33). Menyatukan dirimu dengan Kristus dan kehendak-Nya   akan melibatkan komitmen untuk membangun bersama-Nya kerajaan kasih, keadilan, dan perdamaian semesta.  Kristus sendiri ingin mengalami ini bersama denganmu, dalam semua upaya dan pengorbanan yang ditimbulkannya, tetapi juga dalam semua sukacita dan pengayaan yang dibawa-Nya. Kamu tidak dapat bertumbuh dalam kekudusan tanpa melibatkan dirimu sendiri, jiwa dan raga, untuk memberikan yang terbaik demi  usaha ini.

26. Tidaklah sehat untuk mencintai keheningan sebagai pelarian dari  interaksi dengan orang lain, menginginkan kedamaian dan ketenangan untuk  menghindari kegiatan,  mencari doa sementara pelayanan diremehkan. Segala sesuatu dapat diterima dan diintegrasikan ke dalam kehidupan kita di dunia ini, dan menjadi bagian dari jalan kita menuju kekudusan. Kita dipanggil untuk menjadi kontemplatif bahkan di tengah-tengah kegiatan serta bertumbuh dalam kekudusan dengan bertanggung jawab dan dengan murah hati melaksanakan perutusan yang tepat.

27. Mungkinkah Roh Kudus mendesak kita untuk melakukan perutusan  dan kemudian meminta kita untuk meninggalkannya, atau tidak lagi  sepenuhnya terlibat di dalamnya, demi menjaga kedamaian batin kita? Memang ada kalanya kita tergoda untuk menggeser keterlibatan atau komitmen pastoral di dunia ke tempat kedua, seolah-olah ini adalah "gangguan" di sepanjang jalan menuju pertumbuhan dalam kekudusan dan kedamaian batin. Kita dapat melupakan bahwa “hidup tidak memiliki perutusani, tetapi adalah sebuah perutusan”. [27]

28. Tak perlu dikatakan, apa pun yang dilakukan karena kecemasan, kesombongan atau kebutuhan untuk membuat orang lain terkesan  tidak akan mengarah pada kekudusan. Kita ditantang untuk menunjukkan keterlibatan kita  sedemikian rupa sehingga semua yang kita lakukan memiliki makna injili dan  lebih menyamakan diri kita  dengan Yesus Kristus. Kita sering berbicara, misalnya, tentang spiritualitas katekis, spiritualitas room-romo projo, spiritualitas kerja. Untuk alasan yang sama, di Evangelii Gaudium saya menyimpulkan dengan berbicara mengenai spiritualitas misi, dalam Laudato Si ' mengenai  spiritualitas ekologis, dan dalam Amoris Laetitia mengenai spiritualitas kehidupan keluarga.

29. Ini tidak berarti mengabaikan kebutuhan akan saat-saat tenang, kesendirian dan keheningan di hadapan Tuhan. Justru sebaliknya. Kehadiran gawai yang terus-menerus baru, kegirangan dalam   perjalanan, dan barang-barang konsumsi tanpa henti terkadang tidak menyisakan ruang bagi suara Tuhan untuk didengar. Kita diliputi oleh kata-kata, oleh kesenangan yang dangkal dan dengan hiruk-pikuk yang meningkat, diisi bukan oleh sukacita melainkan oleh ketidakpuasan dari mereka yang hidupnya telah kehilangan makna. Bagaimana kita bisa gagal menyadari perlunya menghentikan perlombaan tikus ini dan memulihkan ruang pribadi yang diperlukan untuk melakukan dialog yang tulus dengan Tuhan? Menemukan ruang itu mungkin terbukti menyakitkan tetapi selalu berbuah. Cepat atau lambat, kita harus menghadapi diri kita yang sebenarnya dan membiarkan Tuhan masuk. Hal ini mungkin tidak terjadi kecuali “kita melihat diri kita menatap ke dalam jurang pencobaan yang menakutkan, atau memiliki sensasi yang memusingkan berdiri di atas jurang keputusasaan, atau menemukan diri kita sepenuhnya sendirian dan terlantar”. [28] Dalam situasi seperti itu, kita  menemukan motivasi terdalam untuk sepenuhnya menjalankan komitmen kita pada pekerjaan kita.

30. Kekalutan  yang sama yang terdapat  di mana-mana di dunia saat ini juga membuat kita cenderung untuk memutlakkan  waktu luang kita, sehingga kita dapat menyerahkan diri sepenuhnya kepada perangkat yang memberi kita hiburan atau kesenangan singkat. [29] Sebagai hasilnya, kita  mulai membenci misi kita, komitmen kita  menjadi kendur  dan semangat pelayanan yang murah hati dan siap  siaga mulai loyo. Ini berlawanan dengan pengalaman rohani kita. Dapatkah semangat spiritual apa pun menjadi sehat ketika ia berada di samping kemalasan dalam evangelisasi atau dalam melayani orang lain?

31. Kita membutuhkan roh kekudusan yang mampu mengisi baik kesendirian kita maupun pelayanan kita, kehidupan pribadi kita maupun  upaya penginjilan kita, sehingga setiap saat dapat menjadi ekspresi kasih yang rela berkorban di mata Tuhan. Dengan demikian, setiap saat kehidupan kita dapat menjadi langkah di sepanjang jalan menuju pertumbuhan dalam kekudusan.

(bersambung) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar